Ajak Umat Berpikir Kritis, Haedar Nashir Sebut Konsep Moderasi Beragama Jadi Lahan Tarik Menarik Kepentingan

MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Menguatnya gejala pengerasan faham (radikalisme) agama mengakibatkan munculnya gagasan moderasi beragama. Di kalangan umat muslim, moderasi beragama memiliki tujuan pokok menjaga paham beragama umat agar bersikap tengahan (wasathiy), tidak ghuluw (ekstrim), dan moderat.

Namun alih-alih menjaga keberagamaan umat untuk tetap bersifat tengahan, moderasi agama menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir juga menjadi poros baru bagi pertentangan faham keagamaan di internal tubuh umat Islam.

“Sekarang jujur, konsep moderasi itu jadi bahan pertarungan ide, gagasan dan kepentingan yang kadang juga bermuara pada tarik-menarik yang menurut saya tidak keluar dari perspektivisme. Satu pihak, moderasi dijadikan alat dan cara pikir untuk memperkenalkan pemikiran-pemikiran yang tidak sepenuhnya sama dengan pemikiran Keislaman dalam konteks Keislaman kita, atau politik kebangsaan yang arahnya bergeser ke kiri lalu menimbulkan reaksi yang keras. Moderasi beragama lalu jadi sinkretisme, sintetisme dan itu kan problem. Lalu hukumnya jadi serba apa saja boleh, ibahah(permisif)-nya kebangetan,” kata Haedar.

“Tapi muncul reaksi yang sama lalu mulai alergi dengan konsep moderasi dengan konsep Wasathiyah yang itu dua arah. Satu, ingin tetap berada di situ tanpa alergi, tapi dua, ada juga yang untuk melindungi pemikiran-pemikiran konservatif dan neokonservatif cenderung ke kanan dengan menolak konsep moderasi. Kelihatan sederhana tapi arus ini terus bergerak,” ungkapnya.

Dalam forum peluncuran buku “Filsuf Membumi dan Mencerahkan: Menyemai dan Menuai Legacy Pemikiran Amin Abdullah”, Jumat (28/7), Haedar menyebut munculnya poros baru pertentangan faham ini tidak produktif bagi umat Islam. Sebab, umat Islam sendiri yang pada akhirnya menjadi korban.

“Lalu (dari pertentangan moderasi) muncul istilah politik identitas yang sudah pasti agama, dan agama yang selalu menjadi terdakwa adalah Islam. Padahal arahnya kita tahu sendiri, kami yang tahu pada pusat-pusat ide itu keluar, oh ternyata ada kepentingan jangka pendek (ekonomi, politik, dll),” ungkapnya.

Geliat inilah yang menurutnya diperhatikan oleh Muhammadiyah lewat Sidang Muktamar ke-48 di Surakarta 2022 yang lalu. Kata Haedar, Muhammadiyah mengajak umat untuk berpikir kritis-objektif dan tidak asal setuju atau menolak pada gagasan-gagasan baru yang mengemuka di keseharian umat.

“Ini yang jadi perhatian Muhammadiyah mengapa di Muktamar kemarin meletakkan rekonstruksi dan redefinisi tentang radikalisme dan deradikalisme karena muaranya pada akhirnya membawa pada kecenderungan-kecenderungan ekstrim pada moderasi plus regimentasi agama,” kata dia.

“Jadi Muhammadiyah mengajak dialog, mari diskusi dengan tenang apa yang dimaksud dengan radikalisme agama, radikalisme kebangsaan, bahkan jangan-jangan ada radikalisme dalam pemikiran dan praktek ekonomi di Indonesia agar kita tidak menempatkan konsep ini dengan reduksi dan tidak sejalan dengan interkoneksi pendekatan Muhammadiyah, burhani, bayani, dan irfani,” imbuhnya.

“Mudah-mudahan ini bisa jadi agenda kita dan kita dialogkan dengan berbagai kalangan di tubuh bangsa ini, kuncinya ketulusan. Kita berdialog pemikiran, berdialog tentang bangsa. Lalu kita ikhlas. Jujur, saya yakin semua pintu akan terbuka. Tapi sekali ada kepentingan, pintu itu akan tertutup. Dan saya yakin bahwa yang lain pun akan terbuka karena bangsa ini milik kita bersama, umat Islam pun milik kita bersama,” pungkasnya. (afn)